“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling.” (Al-Hajj: 1)Maha Kuasa Allah yang menciptakan arena bumi sebagai sarana ujian. Kekayaan alam yang begitu melimpah. Sungai-sungai jernih yang melahirkan kehidupan. Hujan yang membangkitkan harapan. Dari situlah, hamba-hamba Allah membuktikan diri: apakah ia sebagai hamba yang konsisten atau dusta.
Ada baiknya berhati-hati dengan yang boleh. Tak ada yang tanpa batas di dunia ini. Karena sunnatullah dalam alam, semua tercipta dalam takaran tertentu. Dari takaran itulah, keseimbangan bisa langgeng. Termasuk keseimbangan dalam diri manusia.
Kalau keseimbangan goyah, yang muncul adalah kerusakan. Dalam diri manusia, ada tiga keseimbangan yang mesti terjaga: keseimbangan akal, rohani, dan fisik. Satu keseimbangan terganggu, seluruh fisik mengalami kerusakan.
Ketidakseimbangan bukan cuma dari sudut kekurangan. Berlebih-lebihan pun bisa memunculkan ketidakseimbangan. Termasuk dalam pemenuhan kebutuhan fisik dan psikis. Di antara urusan fisik adalah makan dan minum.
Allah swt. berfirman, “….makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf: 31)
Berlebih-lebihan dalam makan dan minum, walaupun halal, bisa memunculkan penyakit. Lebih dari lima puluh persen sumber penyakit berasal dari lambung. Karena itulah, Rasulullah saw. meminta kaum muslimin untuk mengerem makan. Dan cara yang paling bagus adalah dengan puasa. Beliau saw. mengatakan, “Berpuasalah, niscaya kamu akan sehat.” (Al-hadits)
Masih banyak hal boleh lain yang mesti pas dengan takaran. Di antaranya, hubungan seksual suami istri, tidur, dan juga bersantai.
Sayangnya, ada kecenderungan manusia senang bersantai. Sudah menjadi sifat dasar manusia memilih jalan yang gampang daripada yang sukar. Lebih memilih santai ketimbang banyak kerja. “Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (Al-Balad: 11)
Santai pada timbangan yang proporsional memang bagus. Karena itu bermakna istirahat. Dari istirahatlah keseimbangan baru bisa lahir. Dengan istirahat, lelah bisa tergantikan dengan kesegaran baru.
Tapi, ketika santai tidak lagi proporsional, yang muncul hura-hura dan kemalasan. Orang menjadi begitu hedonis. Orientasi bergeser dari keimanan kepada serba kesenangan. Saat itu, santai tidak cuma menggusur jenuh, tapi juga kewajiban-kewajiban. Bisa kewajiban sebagai suami, anak, dan juga sebagai hamba Allah swt.
Di antara ciri orang beriman adalah berhati-hati dengan perbuatan yang sia-sia. Allah swt. berfirman, “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (Al-Mu’minun: 1-3)
Rasulullah saw. mewanti-wanti para sahabat agar berhati-hati dengan waktu senggang. Beliau saw. bersabda, “Ada dua kenikmatan yang membuat banyak orang terpedaya yakni nikmat sehat dan waktu senggang.” (HR. Bukhari)
Ada banyak cara menggusur letih dan jenuh. Letih dan jenuh kadang tidak cuma bisa disegarkan dengan santai. Ada banyak cara agar penyegaran bisa lebih bermakna dan sekaligus terjaga dari lalai.
Para sahabat Rasul biasa mengisi waktu kosong dengan tilawah, zikir, dan shalat sunnah. Itulah yang biasa mereka lakukan ketika suntuk saat jaga malam. Bergantian, mereka menunaikan shalat malam.
Bentuk lainnya adalah bermain dengan istri dan anak-anak. Rasulullah saw. pernah lomba lari dengan Aisyah r.a. Kerap juga bermain ‘kuda-kudaan’ bersama dua cucu beliau, Hasan dan Husein. Dari sini, santai bukan sekadar menghilangkan jenuh. Tapi juga membangun keharmonisan keluarga.
Rasulullah saw. mengatakan, “Orang yang cerdik ialah yang dapat menaklukkan nafsunya dan beramal untuk bekal sesudah wafat. Orang yang lemah ialah yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan muluk terhadap Allah.” (HR. Abu Daud)
Dan harus kita sadari betul, ada pihak lain yang mengintai kelengahan kita. Pertarungan antara hak dan batil tidak kenal istilah damai. Tetap dan terus berlangsung hingga hari kiamat. Dari situlah, saling mengintai dan saling mengalahkan menjadi hal lumrah. Dan kewaspadaan menjadi hal yang tidak boleh dianggap ringan.
Pihak yang jelas-jelas melakukan pengintaian adalah musuh abadi manusia. Dialah iblis dan para sekutunya. Allah swt. membocorkan itu dalam firman-Nya. “Iblis mengatakan, ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Al-A’raf: 16-17)
Pihak lain adalah kelompok manusia yang tidak suka dengan perkembangan Islam. Mereka selalu mengintai kelemahan umat Islam, mengisi rumah-rumah umat Islam dengan hiburan yang melalaikan. Bahkan, mengkufurkan. Masih banyak upaya lain orang kafir untuk menghancurkan Islam.
Karena itu, berhati-hatilah dengan waktu luang. Kalau tidak bisa diisi dengan yang produktif, setidaknya, isilah dengan yang tidak melalaikan.
Beranda
/ Hati-Hati dengan Waktu luang
Posting Komentar untuk "Hati-Hati dengan Waktu luang"